“Ananda, siap tidak siap kamu harus siap. Dimana pun, kapan pun kamu harus selalu siap berjuang, karena agama tidak pernah melarang perempuan untuk maju ke medan perjuangan. Bahkan agama menjunjung tinggi dan memberikan penghargaan kepada perempuan dengan mengabadikan nama “annisa” (perempuan- perempuan) sebagai salah satu nama surat dalam Alquran.”
Itulah pesan yang selalu diingat Hj. Hilma Mimar, putri sulung dari sembilan bersaudara, buah cinta pasangan KH. A. Mimar Hidayatullah dan Hj. Dalfa Utsman, Pimpinan Pondok Pesantren Hidayatul Faizin yang terletak di kawasan Bayongbong Kabupaten Garut Jawa Barat. Pesan tersebut merupakan landasan yang selalu menjadi spirit sekaligus inspirasi dalam menjalani kehidupan dengan segala aktivitasnya.
Bersama suami tercinta, Hj. Hilma membantu ayahanda mengelola pesantren yang saat ini memiliki santri tidak kurang dari 500 santri perempuan. Dalam mengelola pesantren ini, perempuan tidak diposisikan sebagi pelengkap semata. Hj. Hilma justru memainkan peran yang sangat signifikan dalam seluruh proses pendidikan yang berlangsung di pesantren ini dengan tetap mempertahankan penggunakan metode salaf ini. Kini, Pesantren Hidayatul Faizin yang telah berdiri sejak tahun 1839 telah memiliki pendidikan sekolah setingkat Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Keberadaan sekolah inipun tidak terlepas dari tangan dinginnya dalam merumuskan kebijakan pesantren di saat adik-adiknya masih mengenyam pendidikan di berbagai daerah.
Pesantren Tertua di Kabupaten Garut
Pesantren Hidayatul Faizin yang berjarak sekitar 15 km dari pusat kota Garut, merupakan salah satu pesantren paling tua di Kabupaten Garut. Didirikan oleh almaghfur lah KH. Abdul Wahab pada tahun 1839, sampai sekarang pesantren ini telah dipimpin oleh empat generasi. Generasi pertama KH. Abdul Wahab adalah perintis dan pendiri pesantren ini. Di awal perjalanannya, KH. Abdul Wahab tidak langsung mendirikan pesantren secara formal. Tetapi lebih dulu membina masyarakat sekitar dengan mendirikan majelis taklim.
Pada generasi kedua di bawah kepemimpinan KH. Abdul Qahar, pesantren ini secara resmi berdiri. KH. Abdul Qahar yang tiada lain merupakan putra dari KH. Abdul Wahab, melanjutkan perjuangan ayahnya menyebarkan ajaran agama Islam di tengah masyarakat. Namun tidak seperti sang ayah yang hanya mengajarkan agama kepada masyarakat sekitar melalui majelis ta’lim, KH. Abdul Qahar juga menampung santri yang datang dari berbagai daerah di Kabupaten Garut.
Setelah KH. Abdul Qahar wafat, pesantren ini dilanjutkan oleh putra sulungnya KH. Rd. Hidayatullah. Pesantren ini juga semakin berkembang pesat setelah puteri KH. Rd. Hidayatullah yaitu Hj. Rd. Zakiah menikah dengan KH. Wajihadin dari Fauzan, pesantren ini semakin besar. Pernikahan ini bisa diibaratkan menyatukan dua kekuatan yang mampu menjadi magnet bagi masyarakat luas untuk berdatangan ke Pesantren Hidayatul Faizin untuk menuntut ilmu.
Dari pernikahan KH. Wajihadin dengan Hj. Rd. Zakiah, lahir generasi penerus pesantren ini yaitu KH. Mimar Hidayatullah yang saat ini menjadi pimpinan pondok pesantren Hidayatul Faizin. Yang menarik dari beliu adalah keberanian untuk melengkapi pesantren ini dengan mendirikan pendidikan sekolah umum. Kini, bersama putri sulungnya yang kemudian dibantu oleh putra- puterinya yang lain, pendidikan sekolah di Pesantren Hidayatul Faizin bertambah dengan mendirikan tingkat Aliyah maupun pendidikan Dasar berupa Madrasah Ibtidaiyah.
Peran Perempuan di Pesantren Hidayatul Faizin
Seperti pesantren pada umumnya, di pesantren Hidayatul Faizin terutama pada generasi awal kepemimpinan di pesantren ini, peran perempuan belum bisa dilihat dan dirasakan, meski tidak bisa dipandang sebelah mata. Baru pada generasi ke- empat di bawah kepemimpinan KH. A. Mimar Hidayatullah, peran perempuan mulai terlihat dan dirasakan oleh civitas akademika pesantren maupun oleh masyarakat sekitar dan masyarakat umum yang lebih luas lagi.
Peran perempuan ini terlihat dari sosok Hj. Hilma yang merupakan puteri tertua dari KH. Mimar. Sebagai anak tertua, tentu dia menjadi tumpuan orang tuanya. Ketika semua putera-puteri kyai masih menjalani thalab al ‘ilmi, Hj. Hilma telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh aktivitas pesantren. Misalnya ia sering kali menjadi pembicara di majelis taklim yang biasa dilaksanakan di pesantren ini, yang setiap bulannya diikuti oleh tidak kurang dari 2000 orang jemaah yang teridiri dari laki-laki dan perempuan.
Selain di majelis taklim sendiri, beliau juga sering diminta untuk menjadi penceramah di berbagai pelosok Kabupaten Garut, baik langsung diundang secara pribadi maupun jadi badal dari ayahandanya. Kepercayaan ini merupakan wujud dari pesan yang
disampaikan di atas, sebagai salah satu medan perjuangan bagi Hj. Hilma dalam mengabdi kepada masyarakat.
Hal ini karena beliau memaknai pengabdian kepada masyarakat melalui jalur pesantren bukanlah medan perjuangan yang semata milik kaum Adam. Sejalan dengan pesan dari orang tuanya, hal ini diwujudkan dalam mengembangkan berbagai aktivitas bukan hanya di lingkungan pesantren saja, tetapi lebih luas lagi di masyarakat umum. Seperti, menjadi Ketua PC. Fatayat NU Kabupaten Garut. Di lingkungan pesantren, selain mengajar beliau pernah dipercaya untuk mengepalai sekolah Madrasah Tsanawiyah, dimana sepanjang sejarah sekolah ini Hj. Hilma merupakan satu-satunya kepala sekolah perempuan.
Beliau meyakini bahwa perempuan sangat memiliki peran penting dalam membangun kemaslahatan umat. Hal ini bukan semata karena pandangan kontemporer tentang peranan perempuan, namun juga karena pengakuan Nabi semenjak lebih dari 14 abad yang lalu. Sabdanya “Al-mar-atu ‘imaadul bilad. Idza sholuhat, sholuha al bilad wa idza fasadat, fasada al bilad,” bermakna bahwa kaum perempuan mempunyai peran dalam kemajuan ataupun kehancuran suatu Negara. Oleh karenanya, perempuan harus pintar dan memiliki himmah yang tinggi karena peran dang tanggung jawabnya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Kesetaraan yang memunculkan prestasi
Perkenalannya dengan Rahima dalam forum Pengkaderan Ulama Perempuan telah membuatnya semakin mendalami persoalan ketidakadilan dalam relasi lelaki dan perempuan di masyarakat. Oleh karenanya, ia merefleksikan pengalaman tersebut dan memperkenalkan cara pandang baru di lingkungan pesantrennya. Setelah tidak menjadi kepala sekolah, Hj. Hilma lebih berfokus pada pengelolaan pesantrennya. Oleh karenanya, selain mengelola santri putri yang sepenuhnya dibawah inisiatif dan tanggung jawabnya, ia juga mengajar santri putra. Bukan hanya santri putra yang masih anak-anak, namun juga santri putera yang telah dewasa. Pemandangan seperti ini merupakan salah satu pemandangan langka apabila bicara pesantren.
Di antara materi ajar yang disampaikannya adalah mengaji kitab ‘Uqudullujayn. Materi ini disampaikan bagi seluruh santri dewasa, baik puteri maupun putera. Namun, hal ini diajarkan dengan perspektif baru. Artinya, pembahasan kitab ini tidak dibaca semata secara tekstual, tetapi mengedepankan hak dan kewajiban serta kesetaraan relasi laki- laki dan perempuan.
Para santri puteri didorong untuk lebih bebas dalam meng- aktualisasikan bakat dan hobinya masing-masing. Tidak pernah ada larangan bagi santri putri untuk melakukan kegiatan apapun sepanjang hal itu dianggap positif. Misalnya, belum lama ini salah satu santri puteri dari pesantren Hidayatul Faizin mendapatkan gelar juara lomba tenis meja dan catur antar pelajar tingkat Kabupaten Garut.
Meski belum sempurna, namun Hj. Hilma sangat mensyukuri kondisi yang ada di pesantren ini. Sama sekali tak ada hambatan baginya untuk mengem-bangkan berbagai gagasan dan pemikiran dalam upaya mewujudkan kesetaraan di pesantren dan masyarakat. Ini tak lepas dari dorongan ayahnya yang cukup moderat yang senantiasa memberikan ruang dan kesempatan untuk tampil ke depan. Termasuk untuk menerima kunjungan tamu pesantren yaitu para ulama besar maupun petinggi negara. (neng hilma)