13 April 2011

TAHLILAN DAN ZIARAH KUBUR, LARANGAN ATAU ANJURAN ? (Bagian ke- Tiga/Habis)

1) Penentang ziarah kubur menyebutkan banyak kemaksiatan yang terjadi pada saat ziarah

Berbagai kemaksiatan terjadi pada saat ziarah kubur.

kubur, diantaranya adalah :

Terjadi ikhthilat (percampuran) antara laki-laki dan perempuan

Perempuan mempertontonkan (tabarruj) aurat dan kecantikannya

Perempuan memakai wangi-wangian

Berkata kotor dalam senda gurau

Lebih mementingkan kuburan dari pada shalat berjamaah

Dan lain-lain

Dalam kesempatan ini perlu ditegaskan bahwa kemaksiatan yang terjadi pada saat ziarah kubur bersifat 'aridly dan tidak talazum antara ziarah kubur dan kemaksiatan dimaksud. Bukan merupakan sebuah keniscayaan, seseorang yang pergi ziarah pasti melakukan kemaksiatan dimaksud, lebih-lebih apabila konteks pembicaraan dibatasi hanya pada kalangan intelektual, santri atau orang-orang yang berilmu, maka kemaksiatan tersebut tidak akan terjadi.

Kemaksiatan mungkin saja terjadi apabila orang yang ziarah kubur sangat awam terhadap ilmu-ilmu keagamaan dan dalam konteks ini pasti semua sepakat bahwa kita harus memberikan arahan, bimbingan, tuntunan sehingga mereka menyadari betul apa arti penting dari ziarah kubur, bukan justru melarang sama sekali kegiatan ziarah kubur.

Kemaksiatan yang disebutkan di atas dapat terjadi dimana saja. Menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal, baik di tingkat SMP, SMA atau perguruan tinggi merupakan sebuah keharusan dan kewajiban. Islam membutuhkan kader-kader yang berprofesi sebagai dokter, advokat, polisi, ekonom dan lain-lain. Islam tidak hanya membutuhkan kader-kader yang hanya bisa membaca kitab kuning saja. Realitas mengatakan bahwa tidak ada kewajiban untuk memakai jilbab atau menutup aurat di lembaga pendidikan formal yang disebutkan di atas.

Tidak ada larangan untuk memakai lipstick, memakai wangi-wangian dan lain sebagainya. Pertanyaannya kemuadian adalah : apakah kader-kader kita harus dicegah untuk menuntuk ilmu yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam gara-gara banyak kemaksiatan yang terjadi di lembaga pendidikan formal yang menjadi tempat menuntut ilmu tersebut ? apabila kita harus melarang, maka dapat dipastikan bahwa Islam akan menjadi agama pecundang dan akan sulit menghadapi gempuran dan serangan dari agama lain.

Alangkah bijak dan arifnya apabila sikap yang kita pilih adalah tetap mengirimkan putra-putri terbaik kita untuk menuntut ilmu dan menasehati, menjaga dan mengawasi meraka agar pada saat menuntut ilmu tidak berbuat kemaksiatan (membuka aurat, tabarruj, memakai wangi-wangian yang memancing laki-laki hidung belang untuk menggoda dan seterusnya).Realitas semacam ini tidak hanya terjadi dalam konteks pendidikan, akan tetapi juga terjadi di angkutan umum, rumah sakit, pergi haji dan lain-lain. Kita tidak mungkin melarang orang pergi dengan menggunakan angkutan umum, pergi haji dan lain-lain hanya karena disana terdapat kemaksiatan yang bersifat insidentil. Bagaimanapun harus diakui bahwa ziarah kubur adalah anjuran.

Yang dilarang adalah kemaksiatan yang terjadi tidak hanya dalam konteks ziarah kubur, sehingga yang harus diberangus dan dilarang bukan ziarah kuburnya, akan tetapi kemaksiatannya.

2) Banyak kesyirikan yang dilakukan oleh para peziarah.

Kesyirikan yang dianggap terjadi pada saat ziarah kubur diantaranya adalah :

Meminta tolong, kesuksesan dan lain sebagainya pada kuburan

Membaca doa,dzikir, shalawat yang mengandung unsur kesyirikan.

Dll

Untuk mengurai masalah ini, ada beberapa topik yang harus kita kaji, diantaranya adalah :

Posisi khaliq dan Makhluq

Ta'dhim, antara ibadah dan adab

Majaz aqliy

Meminta tolong kepada makhluk

Posisi Khaliq dan Makhluq

Kajian tentang posisi al-Khaliq dan al-makhluq cukup signifikan dalam konteks ilmu tawhid, karena hal ini akan menjadi garis demarkasi yang cukup tegas (al-had al-fashil) dalam rangka menilai dan menakar apakah seseorang masih dianggap sebagai seorang muslim atau sudah dianggap nyeleweng dan tersesat dari ajaran Islam.

Secara sederhana dapat ditegaskan bahwa al-khaliq adalah merupakan dzat penentu segalanya, yang mendatangkan manfaat dan madlarat dan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Ini adalah merupakan posisi khaliq yang tidak dimiliki oleh makhluq. Sedangkan makhluq hanyalah merupakan hamba yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mendatangkan manfaat, bahaya, kematian, kehidupan dan lain sebagainya. Sebagaimana hal ini ditegaskan di dalam al-Qur’an surat al-a’raf : 188.

Kesadaran akan posisi al-Khaliq dan al-Makhluq ini pada akhirnya menjadikan kita dapat menilai dengan pasti apakah praktik amaliyah keseharian kita termasuk dalam kategori syirik atau tidak. Ketika seseorang mencoba mencampur-adukkan antara posisi khaliq dengan makhluk, misalnya dengan meyakini bahwa sebagian makhluq memiliki kemampuan untuk mendatangkan madlarat dan manfaat tanpa dengan idzin dan kehendak Allah, maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan telah melakukan perbuatan syirik yang nyata. Ziarah kubur, bertawasul, istighatsah, bershalawat, membaca burdah dan lain sebagainya tidak berefek apa-apa terhadap kemurnian iman dan tawhid kita, ketika kita tetap berkeyakinan bahwa dzat yang mampu mendatangkan manfaat dan madlarat hanyalah Allah SWT.

Ta’dzim antara Ibadah dan adab

Banyak orang yang keliru dalam menilai hakikat dari ta’dzim dan ibadah. Mereka mencampuradukkan dua hal yang sebenarnya berbeda ini, sehingga pada akhirnya melakukan generalisasi dan menganggap bahwa semua bentuk ta’dzim adalah ibadah. Berdiri dalam rangka memberi hormat, mencium tangan orang yang alim, mengagungkan nabi dengan menggunakan lafadz “sayyidina”, berdiri di depan makam beliau dengan penuh kesopanan dan ketundukan dianggap sebagai penghormatan yang keterlaluan yang merupakan bagian dari ibadah, sehingga hal itu semua harus dilarang karena syirik.

Pandangan semacam ini merupakan sebuah bentuk kebodohan dan pengingkaran yang pasti tidak akan mendapatkan restu dari Allah dan rasul-Nya dan bertentangan dengan ruh syariat Islam. Hal ini harus ditegaskan, karena yang dicontohkan di dalam al-Qur’an tidak hanya berdiri, mencium tangan, atau sekedar ziarah kubur, akan tetapi lebih dari itu, yaitu perintah Allah kepada para malaikat dan juga iblis untuk bersujud kepada nabi Adam, sebagaimana firman Allah di dalam surat al-baqarah 34 .

Disamping disebutkan di dalam surat al-Baqarah, peristiwa tentang perintah Allah kepada para malaikat dan juga Iblis untuk bersujud kepada nabi Adam juga terekam di dalam surat al-a’raf, al-isra’, al-kahfi dan surat Thaha.

Sujud merupakan bentuk kepasrahan tertinggi yang dilakukan oleh seseorang, akan tetapi tidak secara serta merta dianggap sebagai sebuah bentuk ibadah. Apabila perilaku seseorang hanya dinilai dari aspek luarnya saja, tanpa memperhatikan motivasi dan niatnya, maka seharusnya sujudnya para malaikat terhadap nabi adam harus dianggap sebagai sebuah bentuk kesyirikan dan berhak mendapatkan murka Allah.

Dan seharusnya pula apa yang dilakukan oleh Iblis merupakan sebuah bentuk pemurnian tawhid yang harus mendapatkan apresiasi dan pahala dari Allah. Akan tetapi justru yang terjadi adalah sebaliknya. Malaikat yang bersujud kepada nabi Adam mendapatkan ridla dari Allah SWT, sedangkan Iblis yang tidak mau bersujud kepada nabi Adam dan melakukan pembangkangan justru mendapatkan murka dari Allah.

Imam al-Alusiy di dalam tafsirnya ketika menjelaskan tentang ayat-ayat di atas memberikan penegasan tentang pengertian sujud dengan :

والسجود في الأصل تذلل مع انخفاض بانحناء وغيره ، وفي الشرع وضع الجبهة على قصد العبادة ( تفسير الالوسي ج 1 ص 269)

Sujud pada asalnya diterjemahkan dengan merendahkan diri dengan cara membungkuk atau yang lain, sedangkan menurut syara’ adalah meletakkan dahi dengan tujuan ibadah”

Sujud yang dilakukan dengan cara membungkuk atau bahkan dengan cara meletakkan dahi ke tanah, tidak dapat dianggap sebagai sebuah bentuk ibadah ketika tidak ada qashdu al-ibadah, sehingga dapat dipahami bahwa apa yang dilakukan oleh para malaikat terhadap nabi Adam tidak lebih dari sekedar sujud perhormatan dan bukan sujud ibadah, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk kesyirikan.

Sujud yang merupakan bentuk merendahkan diri yang luar biasa masih tergantung pada qashdu al-ibadah untuk dapat dianggap sebagai ibadah, apalagi hanya sekedar ziarah wali songo, istighatsah, tawassul dan lain-lain.

Dari uraian di atas menjadi penting untuk dibedakan tentang pengagungan (ta’dzim) antara ibadah dan adab (etika/sopan santun). Ta’dzim terhadap makhluk karena pemulyaan, adab, etika dan sopan santun dan tidak sampai pada penyembahan sangat dianjurkan dan jauh dari unsur kesyirikan.

Majaz Aqliy

Konsep tentang hakikat dan majaz perlu mendapatkan kajian yang memadai karena kelompok yang hobi menyesatkan dan mensyirikkan kelompok lain ternyata hanya mendasarkan diri pada teks do’a, dzikir, shalawat dan lain sebagainya yang sudah menjadi tradisi dan kebiasaan sehari-hari.

Dalam konteks ushul fiqh ketika berbicara tentang isti’mal al-lafdzi fi al-ma’na, arti sebuah lafadz diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : hakikat dan majaz. Hakikat diterjemahkan dengan :

كل لفظ اريد به ما وضع له في الاصل لشيء معلوم

" setiap lafadz yang dimaksudkan dengannya arti asal dari lafadz tersebut”

Sedangkan majaz adalah :

كل لفظ مستعار لشيء غير ما وضع له لمناسبة بينهما او لعلاقة مخصوصة

setiap lafadz yang dipinjam untuk sesuatu yang lain karena adanya kesesuaian diantara keduanya atau karena adanya hubungan yang khusus”

Tidak dapat diragukan lagi bahwa penggunaan majaz di dalam al-Qur’an benar-benar terjadi, seperti firman Allah,

Arti dari firman Allah di atas adalah “ dan ketika dibacakan ayat-ayat al-qur’an atas mereka, maka ayat-ayat tersebut menambah keimanan mereka dan hanya kepada tuhan mereka, mereka bertawakkal”

Kata-kata زادتهم ايمانا apabila diterjemahkan berdasarkan arti hakitat akan berdampak pada sebuah kesimpulan bahwa ayat al-qur’an mampu menambah keimanan seorang mukmin yang mendengarkan dan memperhatikan ayat-ayat Allah. Seseorang yang memiliki pemahaman semacam ini dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan mencampur adukkan posisi al-khaliq dan makhluk, karena berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang lain selain Allah yang memiliki kekuatan.

Karena demikian, maka yang bersangkutan pasti disebut sebagai orang yang musyrik. Ayat al-qur’an di atas harus dipahami dengan menggunakan arti majaz dan qarinahnya adalah akal dan pikiran kita. Contoh analisis sederhana di atas dan masih banyak contoh-contoh yang lain di dalam al-qur’an dan al-hadits menjadikan kita harus berkesimpulan bahwa terminologi majaz dikenal dan harus diperhatikan dalam rangka memahami teks-teks keagamaan, baik do’a, dzikr, shalawat atau yang lain.

Shalawat nariyah, shalawat al-fatih, qashidah burdah, hizb bahr dan lain sebagainya dianggap sebagai teks-teks yang mengandung syirik lebih disebabkan karena sudut pandang, kerangka fikir dan paradigma analisis yang dipakai adalah ”teks-teks keagamaan harus selalu dipahami dengan menggunakan arti hakikat dan tidak mengenal arti majaz”. Sudut pandang, kerangka fikir dan paradigma analisis semacam ini pada akhirnya menjadikan kita harus menolak sebagian ayat-ayat al-qur’an dan hadits nabi yang tidak dapat dipahami kecuali dengan menggunakan arti majaz.

Meminta Tolong Kepada Makhluk, Syirik ?

Diantara hal yang patut mendapatkan tanggapan secara serius adalah adanya anggapan bahwa meminta tolong kepada makhluk Allah dari para nabi dan orang-orang shaleh adalah termasuk dalam kategori perbuatan syirik. Perlu ditegaskan bahwa untuk mensyirikkan sebuah perbuatan hendaknya kita harus selalu mendasarkan pada teks-teks al-qur’an dan al-hadits, dan bukan didasarkan pada dugaan dan kebencian kita terhadap kelompok atau amaliyah kelompok tertentu.

Anggapan bahwa meminta tolong kepada para nabi dan orang-orang shaleh termasuk dalam kategori syirik sebenarnya lebih disebabkan oleh kedangkalan ilmu agama mereka dan kekurang-jelian mereka akan realitas sejarah yang terekam baik di dalam al-qur’an, maupun al-hadits. Kasus nabi Sulaiman yang terekam di dalam al-qur’an dimana beliau meminta kepada bangsa jin dan manusia yang menjadi pengikutnya untuk mendatangkan dan memindahkan istana ratu Bulkis ke istana beliau adalah contoh konkrit yang ada di dalam al-qur’an mengenai masalah ini.sebagaimana yang ditegaskan di dalam al-Qur’an,

Memindahkan istana Bulkis dengan model sebagaimana yang dijelaskan di dalam al-Qur’an adalah merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh Allah. Semua nabi Allah termasuk nabi Sulaiman pasti memahami akan hal itu. Akan tetapi realitasnya nabi Sulaiman tetap meminta kepada pengikutnya untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh pengikutnya tersebut. Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita berani menuduh dan menetapkan nabi Sulaiman sebagai orang yang kafir atau musyrik karena telah meminta tolong kepada makhluk Allah untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya diluar kemampuan mereka ?

Nabi Muhammad tidak pernah menegur para sahabat yang meminta kesembuhan dan sesuatu yang lain yang diluar kemampuan manusia kepada beliau dengan mengatakan kamu semua sudah melakukan perbuatan syirik, oleh sebab itu kamu harus memperbaharui keimanan kamu, pun juga demikian al-Qur’an juga tidak pernah menetapkan nabi Sulaiman yang melakukan hal di atas sebagai orang yang musyrik.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa selama kita masih memposisikan al-Khaliq sebagai khaliq yang memiliki kuasa untuk mendatangkan manfaat dan madlarat dan menempatkan makhluk sebagai makhluk yang tidak memiliki kekuasaan sedikitpun untuk mendatangkan manfaat dan madlarat, maka meminta tolong kepada para nabi dan orang-orang shaleh yang hanya kita anggap sebagai wasilah bukanlah merupakan perbuatan syirik, lebih-lebih hal ini sudah pernah dicontohkan oleh nabi sulaiman dan para sahabat rasul. Bukankah yang paling mengerti akan ketauhidan adalah rasul dan sahabatnya ?

والله اعلم بالصواب


0 komentar:

Posting Komentar